Rabu, 09 November 2011

Di Bawah Naungan Senja Oleh Kristal Bening



            Senja masih malu-malu menampakkan diri, awan hitam memayungi Jakarta dan sekitarnya. Di pelataran surau itu tampak seorang gadis, mengenakan rok hitam serta blous biru muda dan jilbab dengan warna senada. Wajahnya begitu tenang dan menyejukkan hati siapa saja yang memandangnya. Ketika sedang asyik membaca novel yang belum sempat dirampungkannya itu, tiba-tiba handphonenya berdering.
            Ia menatap layanr handphone dan mengangkat panggilan masuk diHPnya itu.
“Hallo... Assalamu’alaikum.” Sapanya ramah
“Wa’alaikumsalam... Maaf Ta, kamu sudah lama menunggu ya? tadi aku ada perlu dulu sebentar.” Suara di seberang sana.
“Tak apa, aku baru tiba 5 menit yang lalu.”
“Baiklah kalau begitu, tunggu aku ya, sebentar lagi aku sampai.”
OK... Hati-Hati di jalan. Assalamu’alaikum.”
Klik
            Sore ini Sufyan dan Ita sepakat untuk bertemu di surau yang tidak jauh dari kampus mereka. Sufyan dan Ita berteman baik sejak mereka semester satu. Ita tidak tahu mengapa Sufyan tiba-tiba mengajaknya bertemu dan menyuruhnya menunggu di surau itu. Hal yang semakin membuat Ita heran, sahabatnya itu ingin mengatakan sesuatu yang penting, yang tidak dapat dibicarakan via telepon. “Ada masalah apa sebenarnya?” Bisiknya membatin.
            15 menit berlalu, batang hidung Sufyanpun telah tampak dihadapan Ita. Sufyan tampak sangat lelah, sepertinya semalam ia tidak tidur. Dengan nafas yang terengah-engah, ia tersenyum dan menyapa Ita. Itapun segera membalas senyuman Sufyan sambil memberikan segelas air mineral untuk sahabatnya itu.
            5 menit tanpa suara. Itapun memberanikan diri untuk mengawali pembicaraan.
“Sufyan... ada apa? kok tumben hari libur seperti ini kamu mengajakku bertemu di sini?” Tanya Ita dengan aksen jawanya yang sangat khas di telinga Sufyan.
Tak ada respon dari Sufyan.
“Ada masalah lagi dengan orang tuamu?” Tanya Ita dengan hati-hati, takut Sufyan tersinggung dengan pertanyaannya itu.
Sufyan segera menggelengkan kepalanya.
“Lantas?” Tanya Ita semakin penasaran.
            Sufyan menghela nafas panjang, mencoba mengumpulkan segenap keberanian. “Bismillah...” suara Sufyan pelan, nyaris tak terdengar. Sufyan segera mengeluarkan handphonenya dan menunjukkan pada Ita pesan singkat yang ada dikotak masuknya. Rupanya isi sms iu adalah sms pertama kali dari Ita yang hadir dihandphone Sufyan. Ita terkejut, ia semakin tidak paham apa maksud Sufyan sebenarnya.
            Belum terobati rasa penasaran Ita, Sufyan segera mengeluarkan sebuah kaleng yang berisi semua kenangannya dengan Ita. Barang-barang yang orang lain anggap sebagai sesuatu yang tidak berguna untuk disimpan. tapi entah mengapa semua itu begitu berharga untuk Sufyan. Mulai dari permen tamarin yang dulu pernah ia minta dari Ita, tapi hingga detik ini tak pernah ia makan. Tiket masuk museum saat mereka berkunjung ke kota tua. Sampai secarik surat yang tampak sedikit lusuh, yang ia tulis untuk Ita tapi tak pernah ada keberanian tuk memberikannya.
“Semua ini untukmu. Barang-barang yang orang lain anggap sebagai sampah, namun bagiku ini hartaku. Secuil bukti perasaan yang satu tahun lebih ku pendam.” Kata Sufyan.
“Mengapa baru sekarang kau ungkapkan perasaanmu itu?” Tanya Ita tak kuasa menahan haru.
“Air matamu terlalu berharga untuk kau tumpahkan. Aku mencintaimu, Ta. Dan namamu telah terpatri di hati ini.” Kata Sufyan seraya mengusap air mata Ita.
            Langitpun meneteskan air, seakan ingin menyamarkan air mata Ita.
“Sebenarnya aku ingin mengutarakannya setelah kita wisuda nanti. Tapi sepertinya inilah saat yang tepat. Sebelum aku lupa bahwa pernah ada cinta untukmu.” Sebisa mungkin Sufyan menahan gejolak yang berkecamuk di hatinya kini. Sedangkan Ita, ia hanya mampu menatap Sufyan dan tak kuasa  menahan bulir-bulir duka yang siap tumpah lagi.
“Allah punya rencana, Ta. Semua telah tersusun dalam skenario yang Maha Dahsyat. Entahlah, saat ini hasrat untuk memilikimu tiba-tiba hilang. Akupun tak tahu, akankah ini hilang untuk selamanya ataukah hanya sesaat. Tapi yang jelas, namamu masih tetap terpatri, cinta dan sayang ini masih untukmu. Hanya hasrat tuk memilikimu saja yang berbeda.”
            Ita tak sanggup berkata-kata, lisannya kelu seketika. Hanya air mata yang terus saja mengalir. Sungguh, ia tak pernah menyangka pernyataan itu keluar dari lisan sahabatnya.
“Maafkan aku...” Kata Ita sesegukan.
“Tidak, jangan meminta maaf. Bukankah cinta adalah anugerah? Cinta datang tanpa mengenal waktu. Mencintai dan dicintai adalah fitrah.” Kata Sufyan sedikit antusias.
“Aku mengerti, Ta. saat ini kau menjalin kasih dengan Azzam. Aku paham kau begitu mencintainya. Mungkin benar, perasaanku padamu terhalang norma. Tapi seperti apa yang aku katakan tadi. Cinta itu fitrah. Aku tak menyalahkanmu mencintai Azzam, itu hakmu. Begitu juga dengan diriku.” Sambung Sufyan.
            Ita menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Tak kan pernah mungkin ia menghianati Azzam, pria yang sangat ia cintai dan ia harapkan tuk menjadi pendamping hidup sekaligus menjadi imam baginya.
“Ta, biarlah rasa ini mengalir. Tak berhak aku menghardik hadirnya cinta, karena cinta ini datang bukan atas kehendakku. Ku harap setelah kau tahu tentang perasaanku ini,  jangan sampai kau menjauh dariku. Tetaplah menjadi sahabat yang selalu menyemangatiku dikala ku rapuh. Ingatlah bahwa duka serta ceriamu telah menjadi kepingan mozaik hidupku.”
            Sufyan menghela nafas panjang, menatap wajah gadis yang begitu ia cintai yang sekaligus menjadi sahabatnya itu. Ia tak kuasa membendung air matanya. perlahan, bulir duka itupun terjatuh. menetes membasahi pipinya.
“Caramu mencintaiku sungguh mempesona.” Kata Ita seraya mengusap air mata Sufyan.
Sufyan segera menyambar tangan Ita yang masih berada tepat dipipi kirinya. Sufyanpun tersenyum seraya berkata, “Ta, lihatlah... Saat kau hapus air mataku, suraupun tersenyum.”
            Senja itu menjadi saksi akan cinta yang lama terpendam. Tatapan serta senyuman hangat menemani perpisahan mereka dipenghujung jalan di depan surau.

Tidak ada komentar: