Rabu, 09 November 2011

Aku Mencintai Sahabatku Oleh : Kristal Bening


 
Ini adalah kisahku yang akan kubagikan kepada kalian. Setelah kalian membaca tulisanku ini, aku tidak peduli apa yang ada di benak kalian tentang diriku. Kalaupun kalian menilaiku salah dan hina, maka simpan saja penilaian itu dalam hati kalian, karena aku tidak membutuhkan jawaban ataupun penilaian dari kalian.
#          #          #
Namaku Rein Adisti. Panggil saja aku Adis. Aku berangkat dari keluarga broken home, Ayah dan Ibuku bercerai saat aku berusia 14 tahun. Kau tahulah kawan, bagaimana nasib orang-orang seperti aku. Karena ego orang tua, anak yang menjadi tumbalnya. Ya, seperti itulah keadaanku, kehilangan masa-masa indah bersama orang-orang terkasih. “Baitiy Jannatiy”, persetan dengan ungkapan seperti itu. Karena pada kenyataannya, rumah justru menjadi “neraka” untuk aku dan ibuku.
Sejak kecil aku disuguhkan dengan berbagai adegan-adegan kekerasan. Tiada hari tanpa air mata Ibu dan sumpah serapah yang terlontar dari lisan Ayahku. Saat itu aku hanya bisa menangis dan memeluk Ibu. Aku coba melindungi Ibu dari siksaan Ayah kandungku sendiri, namun tubuhku yang ringkih dapat dengan mudah disingkirkan oleh tangan kekarnya.
Memar di bagian wajah, darah segar yang mengucur dari hidung dan mulut, bekas cambukan di punggung Ibu, pemandangan seperti itu sudah menjadi hal biasa dan tak asing lagi di mataku. Ah Ibu, begitu menderitanya dirimu bersanding dengan lelaki bejat macam itu.
Satu hal yang hingga saat ini aku sesalkan. Ibu sama sekali tidak pernah melakukan perlawanan atas apa yang Ayah lakukan padanya. Kau tahu kawan, apa yang Ibuku katakan padaku? Beliau mengatakan bahwa seorang istri haruslah patuh pada titah suaminya, karena suaminyalah yang menentukan surga atau neraka bagi seorang istri. Beliau pegang teguh nasihat agama yang sering kali diucapkan guru mengajinya di majelis ta’lim yang diikutinya. Hah?? Aku terperanjat. Apakah agamaku mengajarkan kekerasan macam itu? Ah Ibu, rasanya itu terlalu berlebihan. Mungkin Ibuku menelan bulat-bulat nasihat gurunya itu, tanpa bisa membedakan mana perintah seorang suami yang harus dituruti dan mana yang harus dilawan.
Aku menangis tersedu dalam dekapannya dan menghujat ulah Ayahku, Ibu hanya membelai dan mencium keningku. Ia selalu mengatakan bahwa aku tidak boleh membenci Ayah, walaupun Ayah sudah semena-mena seperti ini. Ah Ibu, apa yang ada di benakmu tentang lelaki biadab itu?
Aku benci Ayahku. Dia selalu kasar padaku, terlebih lagi pada Ibu. Aku benar-benar tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang Ayah. Bagiku Ayah tiada. Tak ada ruang di hatiku untuk lelaki itu.
#          #          #
Sejak perceraian orang tuaku, aku memilih untuk tinggal bersama Ibu. Lagi pula aku sangat yakin, lelaki itu tidak mengakuiku sebagai darah dagingnya. Tapi tak masalah bagiku tidak dianggap anak oleh lelaki macam dia. Justru aku begtu menikmati perceraian ini. Ini yang terbaik untuk aku dan Ibuku. Ada sedikit angin segar, setidaknya aku tidak akan lagi menyaksikan adegan kekerasan lagi di rumahku.
Ayahku menikah lagi dengan wanita lain, selang 1 bulan perceraian dengan Ibu. Aku benar-benar muak dan sangat membenci sosok Ayah. Lelaki tak berperikemanusiaan itu telah mati di hatiku. Dan mulai saat itu, aku membenci semua laki-laki, karena bagiku semua laki-laki itu sama seperti Ayah. Pemarah, kasar, dan tidak berperikemanusiaan.
#          #          #
Pagi ini mentari bersinar menawarkan berjuta asa untuk mereka yang bersungguh-sungguh dan bersemangat untuk menggapai asa itu. Burung-burungpun melantunkan senandung riang, seolah mencoba memberi energi untuk terus riang dan ceria menjalani hari demi hari.
Hari ini adalah hari pertamaku mengukir jejak di Sekolah Menengah Atas. Menurut pengamatanku, sekolah ini cukup nyaman, bersih dan asri. Rasanya, Ibuku benar-benar sudah mempersiapkan semuanya untukku. Mungkin dibenaknya ada secercah harap, kelak aku bisa menjadi manusia berguna, berpendidikan dan berperikemanusiaan. Tentunya tidak seperti Ayahku.
Mungkin karena aku terbiasa dengan berbagai kekacauan yang terjadi di rumah, sewaktu orang tuaku belum bercerai, dampaknya aku menjadi gadis pemarah, pendiam dan sulit mempercayai orang lain, terlebih lagi terhadap makhluk berjenis “laki-laki”.
Sekolahku ini mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama yang terletak tidak jauh dari gedung sekolah. Berat memang meninggalkan Ibuku seorang diri di rumah. Tapi, memang segala sesuatu tentu harus ada pengorbanan. Ku tahu, Ibu sudah pikirkan masak-masak mengenai masalah ini. Ah Ibu, lagi-lagi kau terus mengorbankan perasaanmu. Mengalah untuk orang yang kau sayang.
#          #          #
6 bulan pertama di asrama sungguh membuatku bosan. Beradaptasi dengan semua yang ada disekililingku. Walaupun tiap minggu keempat Ibu menjengukku, mengantarkan uang dan memasak makanan kesukaanku. Tapi itu semua belum cukup ampuh menghalau sepiku.
6 bulan kedua sedikit ada kemajuan, aku mulai terbiasa dengan rutinitasku ini. Bahkan aku mungkin cukup senang karena aku mendapatkan teman baru. Namanya hampir mirip denganku, Reina Mawesti Ningrum. Ya, mungkin baru kali ini aku mempunyai teman yang benar-benar peduli dan menerimaku apa adanya. Gadis itu sungguh cantik, lesung dikedua pipinya membuat paras cantiknya selalu tampak ceria dan ramah.
Semakin hari hubungan pertemananku dan Reina semakin membaik. Sepertinya Ibuku juga senang melihat perubahanku. Aku tidak sendirian lagi. Ah, rasanya baru kali ini aku menikmati hidupku.
#          #          #
Waktu bergulir begitu cepat, tanpa terasa sudah dua tahun lebih aku mengukir jejak di SMA ini. Ada sedikit kecemasan yang ku rasa, ‘bagaimana nanti kalau aku sudah lulus? Apa Reina masih mau berteman denganku?’ pikirku.
Aku terlanjur menyayangi gadis itu, ia begitu baik. Ia selalu bersedia mendengar keluh kesahku. Hari demi hari kulalui bersamanya. Hampir semua aktivitas kami lakukan bersama. Mulai dari belajar, makan, tidur, bahkan mandi sekalipun kami selalu bersama.
#          #          #
Entah mengapa beberapa hari ini aku gelisah dan berusaha menjauhi Reina. Aku merasa semenjak ada penghuni baru di kamar kami, Reina menjadi akrab dengannya. Aku kembali menjadi pemurung. Aku cemburu.
Nampaknya Reina menangkap gelagatku yang berubah menjauhinya. Saat pelajaran usai aku bergegas menuju asrama, namun belum sempat kaki ini melangkah, tangan mulus Reina menarik pergelangan tanganku.
“Adis, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?” tanya gadis itu. Ku tangkap sinar kecemasan dari sorot matanya.
“Pulang” jawabku singkat.
“Adis kenapa sih? Kok Reina merasa kamu berubah sekarang”
“Berubah bagaimana maksudnya?”
“Jadi lebih pendiam dan terkesan berusaha menjauh. Apa kamu sedang ada masalah?
Gak usah sok perhatian. Kamu sepertinya lebih nyaman berteman dengan Vivi daripada denganku.” Jawabku ketus. Aku tahu betul Reina kaget bukan main saat ku membentaknya. Aku berlalu tanpa menghiraukan bulir-bulir kristal yang menderai di pipinya.
#          #          #
Sepertinya memang sudah garis hidupku, ditinggal orang-orang yang pernah berarti untukku. Lagi-lagi aku kembali merasa sendiri. Sejak pertengkaranku dengan Reina, aku semakin menjaga jarak dengannya. Aku merasa telah dikhianati. Perhatiannya terbagi untuk penghuni baru kamar kami itu. Aku tidak suka jika ada yang mendekati Reina. Reina hanya milikku seorang.
#          #          #
1 bulan lagi perpisahan SMA. Ah, rasanya sedikit lega karena sebentar lagi aku akan beranjak dari rutinitas yang menjemukan. Aku merasa ada yang aneh dengan Reina. Memang sejak pertengkaranku dengannya saat itu, aku tak lagi bertegur sapa. Tapi dia masih mau melempar senyum manisnya, walaupun tentu saja aku membalas keramahannya dengan tatapan sinisku. Tapi kini justru dia yang berusaha menjauhiku.
Hari ini aku tidak melihat batang hidung gadis itu di kamar, seluruh baju dan barang-barangnyapun raib. Saat ku tanya ke beberapa penghuni lain di kamar, mereka justru menatapku dengan tatapan yang sulit ku terjemahkan maknanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” bisikku membatin.
Ketika ku tanya pada kepala kamar, ia hanya mengatakan bahwa Reina tidak lagi menempati kamar ini, dia pindah ke kamar Aisyah. Perasaanku kacau, jantungku berpacu semakin cepat. “Jangan-jangan.....” terkaku. “Ah, tidak mungkin!” ku langsung membuka lemariku. Benar saja ku dapati tumpukan baju-bajuku berantakan. Ku cari dan terus ku cari ‘benda keramat’ milikku. “Sial!” umpatku. Ku kehilangan ‘benda keramatku’. Sebuah buku harian yang berisi segala rasaku. Semua perasaanku yang ku tuangkan melalui tulisan. Buku itu yang menemani kesepianku selama ini. Buku yang berisi kekecewaan, kegelisahan, kebencian, dan semua yang ku alami. Termasuk rasa cintaku pada Reina.
Tiba-tiba ku teringat Reina, dan baru ku sadari mengapa dia berubah drastis seperti ini. Tanpa aba-aba, ku berlari menuju kamar Aisyah, ku dapati sosok yang ku cari sedang tersedu. Wajahnya memerah. Aku berusaha untuk menjelaskan sesuatu, namun Aisyah memberi isyarat untuk tidak mendekat.
Aku menangis, aku tak sanggup menghadapi kenyataan pahit ini. Ku berlutut, berharap Reina memeaafkan kesalahanku. Selama ini pantang bagiku menangis dihadapan orang lain. Aku berusaha tegar walaupun bertubi-tubi masalah menghampiriku. Tapi kali ini sungguh beda, aku tak sanggup menanggung malu menghadapi kenyataan pahit ini. Aku merasa hina dihadapan teman-temanku, terlebih pada Reina.
“Apa salah Reina?” tanya gadis itu dengan suara parau sambil sesegukan. “Ini milik Adis kan?” tanya Reina lagi sambil menunjukkan buku harianku. Aku hanya menganguk lemah. Beberapa detik suasana begitu hening.
“Kamu sudah membacanya?” tanyaku hati-hati.
“Kenapa Adis tega melakukan hal sekeji itu? Apa salah aku, Dis?” tangis gadis itu meledak lagi. Aku bergeming. Tak mampu berkata-kata. Lagi-lagi aku hanya menangis menyesali kesalahanku.
“Maafkan aku, Reina. Tapi aku mencintaimu.”
“Cinta?? Cinta macam apa yang hendak kamu tawarkan padaku, Dis?” ucap gadis itu. Emosi. “Kamu pun telah menodaiku. Aku kini merasa jijik dengan tubuhku sendiri.”
Aku mengerti, mungkin Reina benar-benar muak padaku, dan aku paham mengapa gadis itu mengatakan hal itu.
#          #          #
Ku nikmati saat-saat kebersamaanku dengan Reina. Perlahan kumerasakan ‘rasa’ yang sulit kuterjemahkan yang menderaku. Sepertinya aku menyukainya, bahkan bila boleh kutafsirkan rasa ini seperti rasa cinta, cinta layaknya yang dimiliki pria untuk wanitanya.
Saat Reina tengah terlelap, kucumbui tiap jengkal tubuh mungilnya. Kubelai rambutnya yang panjang, dan kunikmati parasnya yang indah. Hampir tiap malam kulakukan ritualku ini. Aku semakin leluasa menjamahi Reina. Gadis itu jika sedang terlelap maka sulit sekali untuk dibangunkan. Hasratku semakin menggebu ketika begitu jelas sepasang mata ini menatap tiap lekuk tubuhnya tanpa balutan busana. Jelas saja, hampir setiap hari kami mandi bersama.
#          #          #
“Adis tahu, hal macam ini akan mengundang murka-Nya. Tuhan melaknat tindakanmu ini. Cinta memang fitrah, Dis. Tapi kamu salah menempati dan memaknai fitrah Tuhan ini. Aku perempuan, beitupun dengan dirimu. Aku memang menyayangimu sebagai sahabatku.  Aku menyayangimu karena kamu adalah saudara seimanku. Dan kamu telah menodai persahabatan dan persaudaraan kita. Kamu juga telah menodai hakikat cinta yang sesungguhnya.” Ucapan Reina kali ini benar-bbenar menamparku. Aku malu dibuatnya. Tak berkutik sedikitpun.
“Reina, aku tahu kamu pasti membenciku. Kamu pasti muak dan jijik denganku. Mungkin kesalahanku ini tak bisa termaafkan.” Kataku dengan penuh sesal.
“Aku tahu kamu seperti ini karena masa lalumu dengan Ayahmu. Tapi kamu tidak boleh seperti ini terus menerus. Cobalah kamu buka matamu dan jangan pukul rata bahwa semua laki-laki sama seperti Ayahmu.”
“Maafkan aku.” Ku tertunduk. Segala rasa bercampur jadi satu.
Saat ku tertunduk dan hanyut dalam laraku, tiba-tiba Reina, Vivi dan teman-teman lainnya merangkul erat tubuhku. Semakin membuat diriku merasa kerdil dihadapan mereka, terlebih lagi pada Tuhanku.
“Kami semua menyayangimu, Dis. You are not alone. Jangan lagi kamu terpuruk dalam nestapamu. Kami semua temanmu.” Ucap Vivi sambil menatapku penuh makna. Vivi, maafkan aku. Selama ini aku berbuat jahat padamu. Cemburu padamu. Sebuah rasa cemburu yang tak pantas kulayangkan untukmu.
“Aku memaafkanmu, Dis. Kamu tetaplah sahabatku. Saat ini yang harus kamu lakukan adalah memohon ampun padaNya dan mohon agar diberi petunjuk.”
“Apa Tuhan bersedia memaafkan kesalahanku? Aku hina dan begitu menjijikan.” Kataku.
“Tentu saja Tuhan memaafkanmu. Dia Maha Pengampun. Pintu maaf selalu terbuka untuk hamba-hambyaNya. Dia setiia menunggu hambaNya tuk kembali mengingatNya. Dia tak pernah letih menunggu hambaNya tuk ucapkan kata taubat. Samudera maafNya lebih luas dari samudera yang ada di dunia ini.” Ucap sahabatku, Reina.
Tuhan, ampunilah hambaMu yang berlumur dosa ini. Terima kasih, sentilanMu melalui kejadian ini membuatku tersadar bahwa yang aku lakukan selama ini salah. Terima kasih juga karena Kau telah mengirimkan sahabat yang begitu tulus menyayangiku dan menerima segala kekuranganku. Tuhan, nikmatMu sungguh begitu besar. Begitu sempurna rencanaMu. Kau memiliki berbagai skenario Maha Dahsyat agar hambaMu kembali ke jalan yang benar menuju cahayaMu.

Tidak ada komentar: