Rabu, 16 November 2011

Tugas Menulis Ilmiah


SIKAP POSITIF TERHADAP BAHASA INDONESIA
Winda Yulfamita Rahman
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta PGRI
Jalan Nangka 58C, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Indonesia
winda.yulfamita@gmail.com

Abstrak
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus bahasa negara bagi bangsa Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia menjelma sebagai bahasa pemersatu bagi berbagai suku, sosial, budaya yang berbeda-beda. Sedangkan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pengantar kenegaraan. Sebagai pemilik dan pengguna bahasa, tentunya sikap positif terhadap bahasa Indonesia itu sendiri mutlak diperlukan. Sikap positif tersebut dapat diwujudkan dengan adanya kesetiaan terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Adanya rasa bangga dan kesadaran akan norma-norma yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia dapat ditanamkan dalam diri siswa melalui pembelajaran kreatif agar bahasa Indonesia tidak lagi dipandang sebagai pelajaran yang menjemukan, sehingga kasus kemerosotan nilai Ujian Nasional bahasa Indonesia dapat diantisipasi. Selain itu, dalam diri mahasiswa juga turut berperan dalam kemajuan dan kelestarian bahasa Indonesia, dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dapat dikatakan bahwa hal itu sebagai langkah awal dalam memilki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Minimnya sikap positif lebih banyak diakibatkan oleh adanya sikap meremehkan dan ketidakpedulian terhadap bahasa Indonesia. Bersikap positif terhadap bahasa Indonesia bukan berarti menuntut bahwa setiap warganya menjadi ahli bahasa, akan tetapi setidaknya melalui sikap positif ini setiap pengguna bahasa Indonesia dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan dan benar dan memiliki keterampilan berbahasa yang dapat diaplikasikan dengan disiplin ilmu lainnya.
Kata kunci       : sikap positif, bahasa indonesia

A.      PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional dan bahasa negara bagi bangsa Indonesia. Bahasa inilah yang digunakan oleh seluruh masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama masyarakat Indonesia, terutama yang memiliki latar belakang (suku) yang berbeda-beda. Sudah 83 tahun bahasa Indonesia dinobatkan sebagai identitas bangsa pada Sumpah Pemuda 1928. Sebagai pemilik bahasa, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya bahasa Indonesia sering kali dianggap remeh oleh pemiliknya sendiri, terutama oleh kalangan remaja dan mahasiswa. Salah satu faktanya, nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) bahasa Indonesia tingkat SMP dan SMA beberapa tahun belakangan ini menunjukkan keprihatinan. Sebut saja pada UN SMP tahun 2011 ini, dibandingkan mata pelajaran lainnya, nilai bahasa Indonesia dinobatkan sebagai yang terendah, dengan rata-rata 7.49. Sementara itu, nilai rata-rata mata pelajaran bahasa Inggris justru berada di peringkat teratas, yaitu 7.65.
Mahasiswa yang notabenenya adalah orang-orang berpendidikanpun tidak luput dari minimnya bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, hal ini dapat dibuktikan ketika mereka berbahasa, baik dalam ragam lisan maupun ragam tulis. Dan lebih diperparah lagi ketika mahasiswa khususnya yang berkecimpung langsung pada disiplin ilmu yang terkait dengan bahasa Indonesiapun tidak luput dari kesalahan. Bisa dipastikan, dari sekian banyak mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hanya segelintir orang yang memahami Ejaan Yang Disempurnakan, misalnya tanda baca dan kata baku. Dengan minimnya pemahaman terhadap EYD, tentu sudah dapat diterka bagaimana kemampuan mereka ketika membuat suatu karya tulis ilmiah. Selain itu, hal memprihatinkan juga tampak ketika bahasa Indonesia tidak mampu menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri. Masyarakat Indonesia lebih senang menggunakan bahasa asing –bahasa Inggris-, seperti welcome, exit, open, close, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk membuat karya tulis mengenai “Sikap Positif Terhadap Bahasa Indonesia”.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah dalam karya tulis ini, yaitu “Apakah perlu bersikap positif terhadap bahasa Indonesia?”

B.       PEMBAHASAN
1.      Tinjauan Teori Sikap
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan; perilaku, gerak-gerik. Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins sebagai pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Sementara Kreitner dan Kinicki mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu. Harvey dan Smith menegaskan bahwa sikap adalah cara bertindak tersebut cenderung positif dan negatif. Sikap tidak tampak dan tidak dapat diamati, yang tampak adalah perilaku atau tindakan. Sikap bukanlah pembawaan sejak lahir, sikap dapat berubah melalui pengalaman, merupakan organisasi keyakinan, merupakan kesiapan untuk memberikan reaksi, relatif tetap, hanya cocok untuk situasi tertentu, serta merupakan penilaian dan penafsiran terhadap sesuatu.
Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan pengertian sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu. Dalam karya tulis ini, penulis berfokus pada sikap positif yang terkait dengan bahasa Indonesia.

2.      Bahasa Indonesia
Apabila ingin membicarakan bahasa Indonesia, mau tidak mau kita harus membicarakan bahasa Melayu sebagai sumber (akar) bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang sejak dahulu sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua franca), bukan saja di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara (Arifin dan Tasai, 2008: 5).
Menurut Arifin dan Tasai (2008: 8) ada beberapa faktor yang menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia yaitu: (1) bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan, (2) sistem bahasa Melayu sederhana sehingga mdah dipelajari, (3) suku-suku di Indonesia dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahassa Indonesia sebagai bahasa nasional, (4) bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahassa kebudayaan dalam arti yang luas.
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, sepertiyang tercantum pada ikrar ketiga Sumpah Peemuda 1928 yang berbunyi “Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional; kedudukannya berada di atas bahasa daerah. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesa berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan (4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar sosial budaya yang berbeda.

3.      Analisis Masalah
Pada umumnya orang Indonesia dapat berbahasa Indonesia untuk keperluan sehari-hari, dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan. Sebagai warga negara yang baik, sudah seyogyanya kita mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar (Effendi, 2010:3). Namun, hal ini bukan berarti mengharuskan bahwa setiap warga Indonesia khususnya siswa dan mahasiswa dituntut menjadi ahli bahasa. Kemampuan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan keperluannya adalah tujuan sesungguhnya mereka mempelajari bahasa Indonesia.
Fakta yang mengejutkan adalah tidak adanya sikap positif terhadap bahasa Indonesia, baik dikalangan siswa maupun mahasiswa. Beberapa tahun belakangan, nilai Ujian Nasional bahasa Indonesia siswa SMP dan SMA menduduki peringkat terendah daripada pelajaran lainnya yang diujikan. Timbul pertanyaan, apa yang salah dengan fenomena ini? Mengapa bahasa asing justru menduduki peringkat tertinggi daripada bahasa Indonesia yang notabenenya adalah bahasa sendiri?
Terjadi beberapa problematika makro dalam pembelajaran bahasa Indonesia, antara lain: (1) kebijakan bahasa Indonesia yang berkembang saat ini terjebak pada politik identitas semata. Bahasa Indonesia dianggap sebagai ornamen unutk membnagkitkan semangat “nasionalisme”. (2) kurikulum pembelajaran bahasa Indoneisa yang terus berubah hanya menjadi simbol dalam memenuhi target “penyesuaian” atau pembaruan” pada tingkat satuan pelajaran. (3) sikap terhadap pelajaran bahasa Indonesia tergolong “pas-pasan”. Masih banyak guru bahasa Indonesia yang tidak memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia, mulai dari kapasitas pelajaran hingga menciptakan nilai tambah pembelajaran bahasa Indonesia. Guru kehilangan kreativitas saat mengajar di dalam kelas. Guru tidak bangga mengajar bahasa Indonesia, di samping tidak memiliki kemampuan berbahasa yang memadai. Alhasil, guru tidak mampu menjadi model berbahasa Indonesia bagi siswa. Belajar bahasa Indonesia kemudain diklaim monoton dan membosankan. (4) pembelajaran bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan otoriter dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baku.
Semua pihak memiliki kontribusi yang berbeda bagi perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri. Sikap tidaklah bersifat mutlak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masing-masing pengguna bahasa memiliki sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif dapat dikatakan sebagai cara kita memperlakukan bahasa Indonesia. Cara kita menuturkan kata dalam bahsa Indonesia. Dalam suatu bahasa, kita kenal dengan EYD. Disinilah kita harus bersikap positif terhadap suatu bahasa, yaitu dengan menuturkan (mengucapkan) kata/kalimat dan atau menuliskanya sesuai dengan EYD. Bukan hanya agar budaya kita tetap terpandang dengan baik. Tetapi agar apa yang kita ingin sampaikan tertuju maksudnya dan tidak diartikan lain. Sikap positif ini, secara sadar harusnya berkembang didalam diri pengguna bahasa.
Sikap positif terhadap bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan (1) kesetiaan bahasa, memelihara bahasa Indonesia itu sendiri, (2) kebanggan bahasa, menggunakan bahasa Indonesia sebagai lambang identitas bangsa, dan (3) kesadaran akan adanya norma bahasa, menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah dan aturan yang berlaku (Arifin dan Tasai, 2008:2).


C.       PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
·           Sikap merupakan organisasi keyakinan-keyakinan yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu. Sikap positif dalam hal ini adalah bagaimana cara kita sebagai pengguna bahasa Indonesia memberikan kontribusi yang positif dalam perkembangan dan kelestarian bahasa Indonesia itu sendiri.
·           Sikap positif terhadap bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan (1) kesetiaan bahasa, memelihara bahasa Indonesia itu sendiri, (2) kebanggan bahasa, menggunakan bahasa Indonesia sebagai lambang identitas bangsa, dan (3) kesadaran akan adanya norma bahasa, menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah dan aturan yang berlaku.

2.      Saran
·           Sebagai pengguna bahasa hendaknya kita jangan memandang rendah bahasa Indonesia. Sikap meremehkan dan menganggap rendah merupakan sikap negatif yang dapat melumerkan rasa nasionalisme.
·           Sebagai mahasiswa, khususnya yang berkecimpung dalam program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hendaknya benar-benar mampu mengaplikasikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan hanya sekedar menelan mentah-mentah berbagai teori yang dipelajari. Jadilah figur yang dapat dijadikan sebagai model bersikap positif terhadap bahasa Indonesia.
·           Penggunaan kata asing pada ruang publik hendaknya benar-benar diperhatikan. Jangan sampai posisi bahasa Inodonesia tersaingi dan tidak mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

3.      Evaluasi
Kita perlu mempelajari bahasa Indonesia -sebagai bahasa nasional dan bahasa negara- dengan sungguh-sungguh sehingga kita benar-benar menguasainya baik sebagai alat komunikasi sehari-hari maupun sebagai alat pemanfaatan ilmu dan teknologi. Tentunya dengan mempelajari bahasa Indonesia secara sungguh-sungguh, hal itu sebagai salah satu tolok ukur bagaimana kita bersikap positif terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.

Daftar Pustaka
Effendi, S. 2010. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Arifin, E.Zaenal dan S. Amran Tasai. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo.
Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Rabu, 09 November 2011

Begitu Sempurna RencanaNya Oleh Kristal Bening


Di tengah sengatan terik matahari yang panas, ku mencoba untuk tetap bertahan,  walaupun aku sangat lelah, tapi ku coba menepisnya. Senyumannya serta wajahnya yang kini telah keriput dimakan usia membuatku semakin bersemangat mengais rezeki dari Allah lewat suaraku ini. Yaa… dia adalah seorang wanita yang sangat aku cintai, selama 9 bulan aku berada dalam rahimnya, dan selama 18 tahun beliau merawatku dengan penuh kesabaran. Sejak usiaku 3 tahun Allah telah memanggil ayahku tercinta, samar-samar ku ingat kenangan bersama ayah, dan kini aku hanya dapat memandang wajahnya di foto saja. Yaa Rabb.. terimalah ayahku, berikanlah ia kelapangan dalam kuburnya. Walaupun ayah telah tiada, namun ibu tetap tegar dan tak pernah mengeluh. Aku tahu ibu pasti sangat lelah, namun ibu selalu memberikanku senyumannya yang manis manakala ku menanyakan kondisi ibuku yang mulai lemah itu. Ibu selalu saja melarangku tiap kali aku ingin meringankan beban yang dipikulnya sendiri, sempat terlintas dalam pikiranku untuk berhenti sekolah, tapi ibu selalu berkata padaku agar aku tetap fokus belajar, baginya itu sudah cukup. Oh ibu… kau adalah wanita terhebat yang aku miliki, ku sangat bersyukur terlahir dari rahimmu. Ku harus sedikit bersabar, karena sebentar lagi aku akan menamatkan SMA. Aku ingin membahagiakan ibuku dengan prestasiku, saat ini hanya itu yang dapat aku persembahkan untuk ibu.

Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik
Tuhan pasti kan menunjukkan, kebesaran dan kuasa-Nya
Bagi hambanya yang sabar, dan tak pernah putus asa

            Ku mulai memetik senar gitar dan menyayikan sebuah lagu dari D’masiv, koin demi koin aku kumpulkan demi tercapainya harapanku. Lumayan, hasil dari menjual suaraku ini kurang lebih 50 ribu perhari. Hamdani, sahabatku itu rela gitar kesayangannya ku pinjam. Ibu tidak tahu kalau aku mengamen, aku tidak bermaksud membohongi ibuku tercinta, tapi mau bagaimana lagi? aku tidak bisa menunggu hasil pengumuman kelulusanku dengan hanya berdiam diri di rumah, karena itulah ku coba memanfaatkan waktu libur dengan mengais rezeki di jalan atau di dalam bis kota, terkadang aku pun menjual koran atau sekedar menjadi tukang parkir. 2 bulan lagi ramadhan tiba, aku ingin sekali menghadiahkan sebuah mukena dan baju baru untuk ibu. Ku sangat sedih melihat mukena ibu yang sudah usang, baju lebaran ibupun hanya ada 1 stel dan itupun hadiah dari sahabat ibu 2 tahun lalu. Alhamdulillah, uang dari hasil jerih payahku ini bisa ku simpan, hasilnya aku bagi 2, setengah untuk tabunganku dan setengahnya lagi aku simpan untuk membelikan hadiah untuk ibu.

              Suatu ketika saat aku mempersembahkan sebuah lagu seperti biasanya di dalam bis kota, aku merasa ada sepasang mata yang memperhatikanku dan memandang tajam ke arahku, tanpa sadar ku berhenti ditengah lagu yang belum sempat ku rampungkan, ku lihat dari sudut matanya mengeluarkan air. “ibu…” bibirku gemetar memanggilnya, tanpa terasa ada sesuatu yang merembes dari mataku.

            Aku pulang dengan perasaan sedih dan takut yang bercampur, hmm… tapi aku harus tetap pulang, ibu pasti sedang menungguku untuk meminta penjelasan tentang kejadian tadi siang.
©       ©       ©

“assalamu’alaikum bu…” seperti biasa aku pulang memberikan salam dan mencium tangan dan kening ibuku. Ibu tetap diam. Membuatku semakin merasa bersalah saat air mata ibu terjatuh karena ulah ku.
“kenapa kau tidak pernah bilang pada ibu?”
“a..ak..aku..”
“Sudah berapa lama kau bekerja di jalan?”
“hampir 3 minggu bu”, jawabku terbata
“Ibu tahu nak, ibu tidak bisa memberikan uang lebih kepadamu, kau tahu sendiri kan kondisi kita?”
“Ibu… aku minta maaf, tapi aku tidak bermaksud untuk membohongi ibu”
“Lantas??”
“……”, aku hanya terdiam tanpa kata. Bibirku kaku rasanya, ku tak sanggup melihat air mata Ibu.
            Semalaman ibu mendiamkan aku, aku semakin sedih dan merasa bersalah. “ibu… maafkan Azzam bila ibu marah, lebih baik ibu pukul Azzam daripada ibu hukum dengan mendiamkan Azzam seperti ini”, batinku menangis. Dalam sujud malamku, ku memohon ampun pada sang Maha pemberi ampunan. “Yaa Rabb.. Mungkin caraku yang salah, aku hanya ingin memberikan ibu hadiah. Ibu… maafkanlah anakmu ini”.
©         ©         ©
Seperti biasa, tiap pagi ibu menyiapkan sarapan untukku. Aku tak ingin kehilangan kesempatan, ku bantu ibu menyiapkan hidangan di meja makan. Ku sapa ibuku dengan senyuman termanisku, berharap ibu tidak marah lagi padaku. Ku beranikan diri untuk membuka percakapan, aku ingin menjelaskan kepada ibu alasanku mengais rezeki di jalanan.
“Ibu… sebelumnya Azzam minta maaf. Azzam tidak bermaksud untuk membangkang pada ibu. Ibu… jika ibu ridho, Allah pun juga ridho. Begitupun sebaliknya”. Belum ada respon dari ibu, ku menghela nafas panjang. Mengumpulkan segenap keberanianku.
“Ibu… 2 bulan lagi ramadhan tiba, hingga detik ini Azzam belum pernah memberikan hadiah untuk ibu. Azzam hanya ingin membelikan ibu mukena dan baju lebaran baru untuk ibu. Azzam hanya memiliki si jago, sebenarnya Azzam ingin memecahkan si jago dan membelikan ibu baju baru. Tapi Azzam ingat pesan ibu, si jago adalah satu-satunya tabungan kita. Azzam tidak memiliki uang bu, karena itulah Azzam bekerja. Kadang jadi tukang loper koran, kadang tukang parkir, kadang juga jadi pengamen. Apapun Azzam lakukan untuk Ibu. Yang penting Azzam tidak mengemis di jalanan”. Ku lihat ada sesuatu yang merembes dari mata ibu. Tapi ibu tetap terdiam, ku coba untuk memberikan pengertian kepada ibuku itu.
“Bu… apakah menjadi seorang pengamen, loper koran, atau tukang parkir itu adalah pekerjaan hina?? Apakah itu tidak halal, Bu?? Bukankah itu lebih baik daripada Azzam mengemis atau jadi seorang peminta-minta dipinggiran jalan??”.
“Nak… dengarkan ibu sayang, bukannya ibu melarang atau menganggap pekerjaan itu hina dan tidak halal. Tapi ibu hanya teringat ayahmu”, semakin deras saja air yang mengalir dari mata ibu. Ku usap dengan lembut air mata bidadariku itu. Ku peluk erat wanita yang selama ini menjaga dan mengasuhku.
“Nak… ayahmu menjadi korban tabrak lari, saat itu ayahmu baru saja selesai mengamen, ketika hendak turun dari bis yang ditumpanginya, tiba-tiba saja sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi melaju kencang dan menabrak ayah hingga ayahmu tidak sadarkan diri, dan akhirnya beliau meninggal”. Air mata menetes membasahi kedua pipiku saat ibu menceritakan sekilas perjalanan hidup ayah.
“Maafkan Azzam. Bu”
“Nak, ibu sangat bangga memiliki permata sepertimu. Ibu tahu niatmu untuk membahagiakan ibu. Tapi nak… bagi ibu dengan kau belajar sungguh-sungguh dan berprestasi itu sudah lebih dari cukup. Ibu tidak ingin kau bernasib seperti ayahmu”.
Ku cium kening ibuku, “Bu… apa ibu lupa? Azzam masih memiliki Allah yang akan selalu menjaga Azzam. Ibuku sayang… ikhlas dan ridho ibu adalah ridho Allah juga. Hidup dan mati seseorang sudah tersusun rapi dalam skenario Allah, ibu selalu mengajarkan pada Azzam agar kita senantiasa berdo’a kepada Allah agar Allah selalu menjaga kita kan? Sekarang kenapa ibu takut bila sewaktu-waktu Azzam kembali kesisi-Nya?”
“Astaghfirullah… terima kasih nak, kau telah mengingatkan ibu. Yaa Rabb… ampuni hambaMu ini”, kata ibu dengan nada menyesal.
“bu… jangan sedih lagi ya? Azzam sangat menyesal telah membuat ibu menangis. Bu… cacing di perut Azzam sudah pada minta jatah nih, makan yuuk”. Ibu memelukku dan menghadiahkanku senyuman, setelah itu ibu menyendokkan nasi kepiringku. Yaa Rabb… terima kasih, ibuku kini sudah dapat tersenyum manis.
©         ©         ©
            Jantungku berdebar menanti pak pos datang. Hari ini pengumuman kelulusanku, Yaa Rabb…. Semoga aku lulus.
“Bu… pak posnya kemana ya? Kok belum datang juga?”
“Sabar dong sayang, duuh gelisah sekali anak ibu. Mungkin sebentar lagi pak posnya datang, ibu ke dapur dulu ya, nasi untuk makan siang belum dimasak”
Belum sempat ibu ke dapur, rupanya pak pos datang. Hatiku gembira bercampur cemas. Ku berikan amplop itu pada ibu, biar ibu saja yang melihatnya. “bagaimana hasinya bu?”, tanyaku smabil memejamkan mata, hari ini sungguh hari yang bersejarah bagiku. Harap-harap cemas. Ku coba membuka mataku sedikit demi sedikit, dan mengulang pertanyaan tadi. Ku lihat ibuku masih memegang selembar kertas dan menangis. Jantungku semakin berdebar, “kenapa ibu menangis?? Jangan-jangan…..”, hatiku sedari tadi tidak bisa diam, bertanya dan terus bertanya, membuatku semakin cemas saja.
“Bu….”
“nak… Alhamdulillah, kau lulus sayang…”. Rasa haru dan tak percaya menyergapku, ku beranikan diri untuk membuktikan perkataan ibuku tadi, dan ternyata…… “Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illahu waallahu akbar”, ucapku penuh rasa syukur. Aku pun tidak menunda waktu untuk sujud syukur kepada Allah. “Alhamdulillah… terima kasih Yaa Allah..”.
Ada sedikit gurat kesedihan bercampur haru yang ku tangkap dari wajah wanita yang aku cintai, “Ibu… kenapa ibu sedih? Apa ibu tidak senang mendengar kabar bahagia ini?”, tanyaku.
“Nak… ibu ingin kau melanjutkan kuliah seperti pesan ayahmu, tapi…. Ibu tidak memiliki banyak uang”, jawabnya denagn nada menyesal
“Bu… tenang saja, Azzam akan tetap meneruskan kuliah di universitas yang Azzam impikan dari sejak masuk SMA. Bu… kita memang tidak memiliki banyak uang, tapi kita masih memiliki Rabb yang Maha kaya, ibu yakin kan dengan firman Allah, siapa saja yang bersyukur padaNya maka Dia akan menambah ni’matnya pada kita. Azzam akan bekerja untuk biaya kuliah nanti, ibu tenang saja ya”
“Nak… ibu sangat bangga memiliki anak sepertimu. Kau sama persis seperti ayahmu yang pantang menyerah dan memiliki tekad sekuat baja, yang tidak ingin menjadi beban untuk orang lain. Ibu do’akan kelak kau menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat”
“Aamiin… terima kasih bu”
“Sejak SMP hingga SMA kau selalu menjadi juara kelas, karena itulah kau selalu mendapatkan beasiswa. Semoga kelak ketika kau masuk kuliah, beasiswa lainnya menantimu, Nak. Ibu tidak dapat berbuat banyak untukmu, ibu hanya bisa mendoakan mu”
“Bu… do’a dan ikhlas ibu itu sudah cukup bagi Azzam”.
©         ©         ©
            Dalam sujudku di sepertiga malam terakhir, bibirku tiada henti mengucap rasa syukur atas ni’mat yang Allah berikan. “Yaa Rabb… terima kasih atas segala ni’mat yang kau berikan padaku hingga detik ini. Yaa Allah… aku ingin sekali melanjutkan kuliah, ku pasrahkan semuanya padaMu, kau tidak mungkin menguji hambaMu diluar batas kemampuannya. Aku yakin Yaa Allah, aku pasti bisa meneruskan pendidikan di perguruan tinggi yang aku impikan. Meskipun banyak yang mencibirku, mereka bilang aku ini pemimpi, terlalu tinggi target hidupku, aah… tapi aku tidak peduli, karena aku masih memilikiMu Yaa Rabb, tidak ada yang mustahil di dunia ini jika Engkau menghendakinya. Yaa Allah… ridhoilah aku, mudahkanlah segala urusanku. Aamiin. Dengan membaca lafadz basmalah, ku tekadkan untuk meraih impianku. Besok aku akan daftar di perguruan tinggi negri itu, perguruan tinggi yang aku targetkan 3 tahun lalu sejak aku masuk SMA. Yaa Rabb… jika keputusan ini yang terbaik untukku, maka mudahkanlah prosesnya, namun jika ini bukan yang terbaik untukku, maka gantikanlah dengan yang lebih baik dan bahagiakan aku dengan keputusanMu itu. Bismillahirrahmaanirrahiim……
©         ©         ©
“Ibu… Azzam mantap untuk mengikuti ujian penerimaan mahasiswa baru di universitas pilihanku, ridhoi Azzam ya Bu. Oia, Azzam ingin bongkar si jago untuk daftar ujian itu, boleh Bu?”
“Tentu saja boleh nak, itu kan memang tabunganmu yang kau persiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi. Nak, kalau masih kurang kau pakai saja uang yang kau persiapkan untuk beli mukena dan baju ibu, ibu ikhlas, baju kan bisa kapan saja belinya tapi kalau kesempatan ini kan belum tentu bisa terulang”
“Tidak bu. Ibu tenang saja, Azzam sudah mempersiapkannya untuk ibu, dan itu tidak boleh diganggu gugat. Insya Allah tabungan ini cukup untuk biaya pendaftaran ujian nanti”.
Tak sabar ku pecahkan tabungan kesayanganku itu, bismillah…
“Subhanallah, uangnya banyak juga ya Bu”
“mari nak, kita hitung uangnya”, senyum ibuku membuatku semakin bersemangat. Walaupun kebanyakan recehan 500 rupiah dan seribuan, tapi aku sangat antusias menghitungnya. Bayang-bayang universitas impianku seolah semakin jelas. Alhamdulillah, terkumpul 350.500 rupiah. Uang yang aku butuhkan saat ini 300rb untuk pendaftaran test masuk, jadi masih sisa 50.500 rupiah lagi. “masih ada sisanya bu, ini ibu yang simpan saja ya?”, pintaku. “Tidak nak, kau saja yang pakai. Lumayan kan bisa untuk ongkos kau kesana. “Bu, aku masih ada sedikit uang untuk ongkos kesana, nah uang ini ibu saja yang menyimpannya untuk beli beras. Azzam lihat persediaan beras kita sudah hampir habis”. Kataku sambil menghadiahkan ibu sebuah senyuman termanis. Tapi Ibu hanya meneteskan air mata. “Kenapa ibu menagis?” tanyaku lembut.
“Ibu sangat terharu nak, ayahmu pasti bangga melihatmu tumbuh menjadi seorang pemuda yang penyayang dan gigih sepertimu”
“Bu, Azzam juga bangga terlahir dari rahim seorang wanita seperti ibu yang tak pernah mengeluh dalam kondisi apapun. Bu, Azzam sangat bahagia bila sebuah senyuman terukir manis dibibir ibu”
“Kau pintar merayu juga rupanya”, jawab ibu dengan tawa kecil
“Aaahh ibu….”, ku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Bu, aku bahagia melihat ibu tertawa seperti itu. Aku janji, aku akan menjadi anak yang bisa kau banggakan.
©         ©         ©
            Hari ini aku bersama sahabatku hamdani pergi ke universitas yang sama dan dengan tujuan yang sama, mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian test masuk disana. Kebetulan hari ini adalah hari terakhir pendaftarannya. Aku kesana naik kereta jurusan bogor, aah… suasananya sangat ramai, desak-desakan, bau keringat jadi satu dengan bau buah jeruk yang dijual di dalam kereta itu. Tapi aku cukup menikmati perjalananku ini. Aku tidak sabar ingin cepat-cepat sampai tujuan. Di tengah perjalanan ku lantunkan sebuah nasyid dari Ar-Royyan.

KeagunganMu Tuhan atas segala ciptaanMu
KebesaranMu jua meliputi luas samudra
Telah Kau cukupkan ni’mat untuk semua insan di bumi
Tak satu makhluk jua yang Engkau lalaikan
©         ©         ©
Ujiannya akan dilaksanakan lusa, aku harus sungguh-sungguh. BELAJAR!!! Satu kata itu aku tulis dengan huruf besar dan aku tempel di dinding kamarku. Ibu senantiasa menemaniku belajar, terkadang beliau menyediakan susu hangat untukku, aahh ibu… aku sangat menyayangimu karena Allah.
©         ©         ©
Hari H ujian telah tiba, ku terbangun di sepertiga malam terakhir, ku panjatkan do’a padaNya, akun yakin Dia tidak akan mengingkari janjiNya, “bahwasanya siapa saja yang berdo’a kepadaKu, niscaya akan Aku kabulkan”. Yaa Rabb… aku pasrahkan kepadaMu, sebab Kau yang Maha Mengetahui, berikanlah aku kemudahan agar aku bisa menjawab pertanyaan nanti dengan baik dan benar, tenangkanlah hati dan pikiranku agar aku dapat berkonsentrasi menjawab soal ujian nanti, Aamiin.

Sebelum berangkat ibu menyiapkan aku bekal makan siang untukku, “Nak, ini ibu siapkan bekal makan siang untukmu, hati-hati di jalan, sebelum mengerjakan soal ujian nanti kau mohon pada Allah agar diberi kemudahan, ibu do’akan agar impianmu tercapai. Ya sudah sekarang kau makan saja dulu”. Pesan ibuku sambil menyiapkan bekal untukku.

Subhanallah, di meja makan sudah tersedia makanan yang istimewa. Ada ayam dan telur balado kesukaanku, tak ketinggalan segelas susu hangat menemani sarapan pagi ku. Ibu… aku tahu, kondisi keuangan kita sangat pas-pasan, meskipun begitu kau masih menyempatkan diri untuk bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan untukku, kau juga memasak masakan yang baru kita santap bila lebaran tiba. Ibu… sungguh besar pengorbananmu untukku. Aku menyantap sarapan pagi ini dengan rasa haru dan dengan sedikit menahan tangis. Ibu, aku tidak akan menyia-nyiakan pengorbananmu untukku. Terima kasih bu.
©         ©         ©
            Ku melangkah meninggalkan rumah dengan penuh semangat yang membara, ku cium kening dan tangan ibuku tersayang, ku lihat raut wajahnya menyimpan sejuta harapan. “ibu… do’akan anakmu ini”.

            Dengan ditemani ransel dan sepatuku yang usang, ku langkahkan kaki ini dengan penuh percaya diri. Aku dan hamdani berpamitan pada ibu. Hamdani adalah sahabat terbaikku, mungkin karena kita sama-sama senasib seperjuangan (sama-sama anak yatim), jadi dia tahu betul apa yang aku rasakan.

            Saat ujian berlangsung, Allah sangat menyayangiku. Allah memberikan aku kemudahan menjawab soal ujian itu. Aku tidak menyia-nyiakan sisa waktu yang ada, sekitar 30 menit waktu yang tersisa, ku gunakan untuk mengoreksi jawaban. Selalu ada pertolongan Allah, itu yang aku rasakan hingga detik ini. Terima kasih Yaa Allah.
©         ©         ©
Semakin hari ibu semakin lemah dan sakit-sakitan, aku ingin sekali membawa ibu ke puskesmas, tapi ibu selalu menolak. Yaa Allah… sembuhkanlah ibuku, jika penyakitnya bisa berpindah, aku rela menaggungnya, asalkan ibuku bisa pulih kembali.

Suatu ketika, saat aku baru menyelesaikan pekerjaanku untuk menjual koran, tiba-tiba cacing diperutku ini sudah berdemo meminta haknya. “Aahh… bagaimana ini? Perutku lapar sekali, tapi uang ini akan aku belikan obat untuk ibu, ya sudah aku tahan saja lah”, kataku sambil memegangi perutku.

Akupun pulang dengan membawa obat untuk ibu, segera ku berikan obat itu untuk ibu, berharap sakitnya segera sembuh. Tiba-tiba tatapanku tertuju pada sebuah kaleng yang sedikit berkarat, aku teringat uang tabungan untuk membelikan mukena dan baju baru untuk ibu, beberapa hari terakhir aku lebih fokus mempersiapkan ujian, hampir saja aku lupa dengan rencanaku itu.”Hmm… sepertinya uang yang terkumpul sudah bisa untuk membelikan ibu baju dan mukena, sisanya nanti untuk beli obat ibu”. Seulas senyum terukir di bibirku. Rencananya besok aku akan ke toko pakaian muslim/ah di sebrang jalan sana, akhirnya keinginanku untuk membelikan hadiah untuk ibu bisa terwujud. “ibu… sabar yaa, Azzam akan belikan mukena dan baju baru untuk ibu, jadi ibu bisa lebih khusyu’ lagi shalatnya”, bisikku dalam hati.
©         ©         ©
“Hamdani, ikut aku yuk”, bujukku pada sahabatku itu
“Kemana”, jawabnya sambil memetik senar gitar kesayangannya
“Ke toko perlengkapan muslim/ah di sebrang jalan sana, kau bantu aku yaa untuk memilihkan baju yang cocok untuk ibuku”, jawabku dengan antusias
“Lebaran kan masih lama Zam, hehehe…”, ledek hamdani
“Memang sih, tapi kan kalau beli saat mendekati lebaran pasti harganya melambung tinggi, kalau beli sekarang mudah-mudahan saja bisa lebih terjangkau dengan keadaan kantongku saat ini. Bajunya kan bisa di simpan untuk lebaran nanti”.

            Akhirnya hamdani bersedia mengantarkan aku, senangnya…. Bayang-bayang wajah ibu memakai mukena dariku membuatku tersenyum. Ibu… kau sungguh cantik.

Tapi Allah berkehendak lain, uang yang rencanya akan aku belikan mukena dan baju untuk ibu di copet. Aku sudah berusaha mengejar copet itu, hamdani juga membantuku, tapi sayang kami tidak berhasil menangkap copet itu. Pupus sudah harapanku untuk membelikan hadiah untuk ibu. Sedih bercampur kecewa yang kurasakan, tapi hamdani sahabatku membesarkan hatiku, mungkin ini yang terbaik dari Allah, aku yakin Allah akan menggantinya berkali lipat. “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun, sesungguhnya semuanya milik Allah dan akan kembali padaNya”.

Saat tanganku merogoh kantong celana kiri, aku temukan uang 35ribu. Subhanallah, rupanya masih tersisa. “Lumayan untuk beli obat dan lauk untuk makan malam”, pikirku. Subhanallah, rupanya ujian Allah tidak berhenti sampai di situ, saat aku melangkahkan kakiku menuju apotek terdekat, kulihat ada seorang gadis kecil menangis tersedu-sedu, kudekati gadis kecil itu dan ku coba tanyakan apa yang terjadi.
“Adik kecil, ada apa? Mengapa kau menagis? Mana ibumu?”, tanyaku lembut
“Kakak… ibuku sedang sakit keras, tapi aku tidak memiliki uang untuk membeli obat. Sudah 3 hari kami belum makan”, jawabnya sambil menangis

Aku terenyuh mendengar cerita gadis kecil itu, ibuku juga sedang sakit, pasti gadis kecil ini juga merasakan hal yang sama sepertiku, tak tega melihat seorang ibu yang sangat dicintai terbaring lemas tak berdaya. Tanpa menunda waktu, ku ajak gadis kecil itu kedalam apotek dan memesan obat untuk ibuku dan ibunya. Setelah itu aku belikan dia 2 bungkus nasi beserta lauk pauknya. Uangku kini tinggal 2ribu perak, “alhamdulillah masih ada kembalian, ya sudah aku belikan tempe orek untuk makan malam ini”, kataku pelan.
“Kakak… terima kasih banyak ya, semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik”, kata gadis kecil itu sambil tersenyum.
©         ©         ©
Aku pulang dengan sedikit perasaan bersalah, “ibu… maaf ya, sepertinya Allah sedang menguji kesabaran kita, tadi ketika Azzam hendak membelikan baju untuk ibu, uangnya hilang dibawa pencopet, sebenarnya masih ada uang yang tersisa, tapi tadi Azzam bertemu dengan seorang gadis kecil, kasihan bu gadis itu menangis karena ibunya juga sakit, sudah 3 hari perutnya juga belum terisi makanan. Ya sudah sekalian Azzam belikan obat untuk ibu dan untuk gadis itu. Tapi ibu tenang saja, yang penting obat untuk ibu masih dapat terbeli, besok Azzam akan lebih giat lagi bekerja untuk membelikan mukena dan bajunya. Ibu sabar yaa”
“Subhanallah, nak ibu sangat bangga padamu. Ibu tidak kecewa bila kau tidak jadi membelikan ibu baju baru, ibu baru akan kecewa bila kau biarkan gadis kecil itu menangis kelaparan”, jawab ibuku sambil memelukku erat
“Semoga Allah memberkahimu nak”
©         ©         ©
Seminggu setelah kejadian itu, kepala sekolah memanggilku untuk menemuinya, rupanya aku mendapat kabar bahwa aku mendapat beasiswa, ada seorang donatur yang baik hati yang bersedia membiayai kuliahku. Subhanallah, Allah menggantinya dengan berkali lipat dan dalam keadaan yang tidak terduga. Hari ini juga merupakan hari yang aku tunggu-tunggu, setelah menemui kepsek, aku dan hamdani bergegas membeli koran yang memuat pengumuman test masuk perguruan tinggi yang kami tuju. Dengan penuh ketelitian ku cari namaku. Alhamdulillah, rupanya Allah tidak hanya memberikan aku beasiswa, ternyata aku diterima di perguruan tinggi yang aku impikan sejak duduk di bangku SMA. Hamdanipun juga merasakan hal yang sama, dia juga diterima.

            Tak sabar aku ingin menemui ibuku tersayang untuk memberitahukan kabar gembira ini. Setibanya di rumah, ku cari sosok yang sangat aku cintai itu, tetapi tidak seperti biasanya rumahku ramai dikunjungi banyak orang. Ada apa sebenarnya? Rasa tak percaya menghantuiku ketika kulihat bendera kuning bertuliskan nama ibuku terpasang di tiang dekat rumahku. Ku lihat sosok yang sangat aku cintai itu terbaring kaku. Melihat ini, jantungku terasa berhenti berdetak, seolah nyawa bercerai dengan jasadnya. “Ibuuuuuuuuu………….”, dengan langkah gontai kuhampiri ibuku yang sudah tak bernyawa lagi. “Ibu… lihat ini, Azzam diterima di universitas impian Azzam, ibu tidak perlu memikirkan berapa biayanya, karena sudah ada yang menanggung biaya kuliah Azzam. Ibu bangun…!!! Coba lihat ini!!! Nama Azzam ada di koran ini bu!!”, ku goyangkan sosok yang terbaring kaku itu. Namun tetap tak ada respon.
“Ibu… biasanya tiap kali Azzam pulang ibu selalu mencium kening Azzam. Ibu bangun, jangan tinggalkan Azzam sendiri!!”, ku menangis sambil menciumi ibuku.
“Sudahlah Zam, ikhlaskan kepergian ibumu. Biarkan ia tenang bersama ayahmu disisiNya”, hamdani coba menguatkanku.
©         ©         ©
Ku antarkan ibuku hingga peristirahatan terakhirnya. Yaa Rabb… terimalah ayah dan ibuku disisiMu, lapangkanlah kuburnya, ampunilah dosanya dan terimalah amal ibadahnya. Yaa Rabb… pertemukanlah aku dengan ayah dan ibuku di surgaMu. Tabahkanlah hatiku, relakanlah aku agar aku ikhlas menerima suratan takdirMu ini. Wahai dzat yang setiap nyawa berada dalam genggamanMu, aku yakin ini yang terbaik untuk keluarga kami. “ Ayah… ibu…. Do’akan anakmu ini, ridhoi anakmu ini. Semoga dapat menjadi anak yang shaleh yang dapat terus mendo’akan kalian. Azzam janji untuk terus menjadi yang terbaik dan menjadi seperti yang ayah dan ibu harapkan. Semoga kita dapat berjumpa dan berkumpul bersama di surgaNya. Aamiin…”


Ku lukiskan kepergianmu duhai ibu, sepanjang masa kasih sayang mu duhai ibu.
Lelah kau menjaga namun tak resah, doa dan ikhlasmu adalah ridho Allah jua
Sedari kecil kau mengasuhku duhai ibu, air susumu yang membentukku sebagai anakmu
Suka dan duka berkurang masa , engkaulah pelita dikala jiwa gelap gulita
Doamu penerang, sumpahmu mulia, ikhlas dan ridhomu surga bagi anaknya
Jasamu tak dapat dibalaskan harta, meski lautan emas sebagai gantinya
Tak lekang bagai matahari, menjejak di pusaran bumi.
(Ar-Royyan)


Di penghujung senja,
Jakarta, 15 Agustus 2009

Zhu_wiChan
( Winda Yulfamita )